Tawadlu

TAWADLU

Kiki Musthafa

 

TAK terpungkiri. Di antara penyebab runtuhnya moralitas seseorang, adalah karena keangkuhannya. Dan keangkuhan lahir, karena kesombongannya. Sementara kesombongan tumbuh sedemikian subur, karena tak ada tawadlu yang berhasil dipupuk dalam hatinya.

Ya, tawadlu. Rendah hati, merasa bahwa dirinya tak beda dengan sesamanya. Sama-sama manusia fakir  yang membutuhkan kebaikan lebih dari Allah SWT. Perhatian. Kasih sayang. Dan bantuan dari pihak lain. Tanpa merendahkan siapapun. Apalagi menyakiti.

Tawadlu, merasa hina di hadapan Allah SWT sehingga membuatnya terus mengabdi. Memohon ampun. Juga merasa sama saja di antara sesamanya, sehingga membuatnya terus berbuat baik, dan berusaha saling menghormati.

Manusia identik dengan kelemahannya. Oleh karenanya, tawadlu adalah keniscayaan—keharusan, yang ada dalam diri seseorang. Karena kelemahannya tersebut, tak elok rasanya jika ia merasa hebat, merasa kuat, merasa lebih dari sesamanya yang lain.

Dalam salah satu hadits Qudsi, Allah SWT menegaskan, “Al-kibriyau ridatii, wal ‘adhamah izarii, faman naza’anii fihima alqaituhu finnar, wala ubali—kesombongan itu selendang-Ku, dan keagungan itu sarung-Ku, maka barangsiapa merampas keduanya dari-Ku, akan kulemparkan ia ke dalam api neraka, dan aku tidak akan peduli sama sekali.”

Merujuk pada hadits Qudsi di atas, benar adanya, jika hilangnya tawadlu dan membatunya kesombongan, adalah satu dari sekian jalan menuju neraka. Tentu, dengan “memaknai” neraka tidak hanya sebatas kobaran api di akhirat kelak. Namun, pula “kobaran api” di dunia.

Neraka, api, dan semacamnya yang merupakan balasan dari pembangkangan manusia, merupakan simbol kesusahan. Api yang notabene membakar. Siksa yang menyakitkan. Adzab yang menghanguskan. Membaur dalam pemaknaan neraka di dunia; Ketakbahagiaan, kesusahan hidup, keterhimpitan, ketaktenangan batin, gelisah berkepanjangan dst. Bisa jadi, “neraka-neraka” tersebut terasakan karena keangkuhan kita menyisihkan ke-tawadlu-an dalam diri kita—sementara kesombongan ditumbuhsuburkan dengan sedemikian rekahnya.

Tidak ada kedamaian hidup untuk manusia sombong. Selalu merasa dimusuhi. Dan selalu ingin memusuhi. Juga kerap mengumbar permusuhan. Padahal, jelas-jelas hidup akan terasa sejuk jika tawadlu dibangun secara bersamaan dengan berupaya sepenuhnya mengubur kesombongan dalam-dalam. Nah, jika tidak, perlahan kesombongan itu akan melahirkan moralitas yang timpang.

Di antara penyebab runtuhnya moralitas seseorang, adalah karena keangkuhannya. Dan keangkuhan lahir, karena kesombongannya. Sementara kesombongan tumbuh sedemikian subur, karena tak ada tawadlu yang berhasil dipupuk dalam hatinya.

Ya, tawadlu. Rendah hati, merasa bahwa dirinya tak beda dengan sesamanya. Sama-sama manusia fakir yang membutuhkan kasih sayang dari Allah SWT. Tanpa merendahkan siapapun. Apalagi menyakiti. Tawadlu merupakan kunci kebahagiaan. Jika ia dipelihara dengan baik, maka lenyaplah “neraka” kesusahan ketika memapah laju hidup. Karena Allah SWT, akan senantiasa menjaga dan memedulikan setiap langkah yang penuh dengan ke-tawadlu-an. Dan terasing dari sebongkah kesombongan.

Di kesempatan lain, Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu, berujar, “Jika kalian ingin melihat ahli Jahannam, maka lihatlah seseorang yang duduk (dengan sombongnya) sementara orang-orang di sekelilingnya berdiri menghormatinya.” Paling tidak, apa yang diungkapkan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu tersebut, merupakan cambuk untuk segala bentuk kesombongan (al-Kibriya), dan merasa ingin diagung-agungkan (al-‘adhamah).

Pada akhirnya, ber-tawadlu hukumnya wajib. Dan kesombongan adalah haram, karena al-kibriya (kesombongan-kebesaran) dan al-adhamah (keagungan) adalah milik Allah SWT semata. Tersebab keduanya, merupakan sifat-sifat-Nya. Sehingga, apabila kita memelihara kesombongan dan merasa besar, agung, hebat, dari sesama lainnya, secara langsung kita “merampas” sifat Allah SWT tersebut, dan bersiaplah menyambut neraka—sementara Allah SWT tidak akan peduli sedikitpun.

Demikianlah, mari bersama enyahkan segala kesombongan yang selama ini membusung di dada kita. Lalu, perlahan tumbuhkan tawadlu di hati, pikiran, sikap, dan ucap kita. Karena kita sangat lemah. Tak mungkin mampu menembus bumi. Juga—apalagi, menjulang menjadi setinggi gunung, “Wa la tamsyi fil ardli maraha. Innaka lan takhriqal ardla wa lan tablughal jibala tula—dan janganlah kalian berjalan di muka bumi berbekal kesombongan. Karena sesungguhnya kalian tak mungkin bisa menembus bumi, juga menjulang menjadi setinggi gunung.” (Q.S. al-Isra: 37-38).

Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammadin SAW.[]

 

Tulisan ini sudah di cetak untuk buletin jumat Di Masjid Agung Tasikmalaya

Leave a comment