SOMBONG TERHADAP DIRI SENDIRI

SOMBONG TERHADAP DIRI SENDIRI

Kiki Musthafa

 

BESAR kemungkinan, sombong itu bukan membusungkan dada di hadapan orang lain. Bukan merendahkan orang lain. Bukan pula merasa hebat dengan apa yang sudah dimiliki. Tetapi, sangat memungkinkan bahwa sombong itu adalah merasa tidak mau memperbaiki diri—untuk kebaikannya sendiri.

Sebagai bagian dari makhluk yang disinyalir “pembuat salah” dan “pelupa”, naif rasanya jika kita selalu merasa benar. Padahal, belum tentu demikian. Saat orang lain melakukan kesalahan, bukankah kita terbiasa berada di baris depan untuk menggunjing? Akan tetapi, ketika terpeleset, tak jarang, kan, kita pun tetap berada di baris paling depan untuk menampik nasihat?

Dalam kamus kita, yang sah menjadi “pembuat salah” dan “pelupa” adalah pihak lain. Sementara kita adalah “yang benar”. Sementara tanpa disadari, perlahan kita pupuk keangkuhan tanpa jeda. Membentuk tembok tebal bernama kesombongan, yang lahir dari ketakinginan kita memperbaiki diri. Setidaknya, memperbaiki anggapan sepihak bahwa kita tak tersentuh oleh kesalahan.

Lucu rasanya, ketika kita sibuk memperbaiki kesalahan pihak lain, namun di saat bersamaan dengan rapihnya kita kemas kesalahan sendiri—agar terlihat benar. Dan yang lebih menggelikan lagi, kesalahan tersebut diumbar dan dibanggakan dengan memaksa pihak lain untuk mengakuinya sebagai sebuah kebenaran. Jika menolak, maka muncullah fitnah, lahirlah hasutan, tumbuhlah permusuhan.

Sombong. Kita manusia-manusia sombong yang enggan belajar dari kesalahan diri sendiri. Tetapi kerap bersemangat jika “mempelajari” atau bahkan “menciptakan” kesalahan untuk melukai orang lain. Saling sikut. Saling menjatuhkan. Seolah bahagia kita dibangun dari seberapa banyak luka yang disayatkan untuk keluarga, sahabat, rekan, terlebih musuh kita. Sulitkah kita untuk berbahagia tanpa menyakiti dan menyakitkan? Beratkah kita untuk tersenyum tanpa membuat pihak lain menangis? Kita sudah terlalu sombong, bukan terhadap orang lain, tapi dominan terhadap diri sendiri: Merasa berbetah lama memelihara keterpurukan dalam hal buruk. Dan hebatnya, ketika dinasihati, kita cepat-cepat berpaling, atau bahkan melawan.

Ya, besar kemungkinan, sombong itu bukan membusungkan dada di hadapan orang lain. Bukan merendahkan orang lain. Bukan pula merasa hebat dengan apa yang sudah dimiliki. Tetapi, sekali lagi, sangat memungkinkan bahwa sombong terbesar adalah merasa tidak mau memperbaiki diri—untuk kebaikannya sendiri.

Demikianlah pada akhirnya manusia rendah hati adalah mereka yang berani mengevaluasi diri di setiap detiknya. Apa pun itu, “pembuat salah” dan “pelupa” akan pupus jika kita selalu mencoba untuk “kembali”, seperti yang diingatkan Rasulullah SAW., “Kullu bani adama khaththaun wa khairul khaththain at-tawwabun—setiap anak cucu Adam (manusia) adalah pembuat salah, dan yang terbaik darinya adalah yang kembali (bertaubat).” Sedangkan manusia sombong adalah sebaliknya: Sibuk dengan kesalahan orang lain, tanpa berkenan meraba kesalahannya sendiri—untuk diperbaiki. Lantas, masihkah kita sombong terhadap diri sendiri? Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammadin SAW.[]

Leave a comment