BERTERIMA KASIH
Kiki Musthafa
KADANG kita lupa. Atau mungkin, sulit untuk ingat. Bahwa setelah menerima kebaikan dari orang lain, ada dua hal yang bisa kita lakukan: Membalas dengan sikap atau mengganjar dengan ucap. Karena apa pun alasannya, setiap kebaikan yang kita terima, adalah isyarat paling halus bahwa kita harus berbuat baik pula: Kepada si pemberi kebaikan, juga kepada pihak di luar itu. Tujuannya, agar kita menjadi jauh lebih baik. Agar kita menjadi sama-sama baik.
Membalas kebaikan dengan sikap, berarti mencoba memberi kebaikan dengan yang lebih baik, atau paling tidak serupa dengan yang kita terima. Tentu, bukan tentang “menuntut” pamrih. Tetapi, menyoal mata rantai kebaikan yang akan terpelihara, jika satu kebaikan disambut dan dilanjut dengan kebaikan lainnya. Karena kebaikan terbesar adalah yang tidak berhitung (berharap akan kebaikan yang kita beri) untuk kembali. Tetapi, di sisi lain, menerima paling baik adalah menghormati dengan berupaya “mengembalikan” kebaikan yang diberikan pihak lain untuk kita.
Ya, jika setiap individu memiliki kesadaran yang sama untuk berbuat baik—pun menyambut baik kebaikan yang ia terima—maka kebaikan bersama akan terlahir dengan sendirinya. Relasi berkebaikan terjalin kuat. Silaturahmi mengikat erat. Saling berbagi. Saling menerima. Saling mengerti dan terus berusaha saling memahami. Ada kebersalingan untuk peduli dan berbuat baik.
Lalu, membalas dengan ucapan. Ini sangat sederhana, namun bukan berarti tak memiliki makna. Hanya berucap “terima kasih” memang tidak cukup untuk dikatakan “membalas” kebaikan yang kita terima. Tetapi, besar kemungkinan, berucap demikian adalah awal dari langkah selanjutnya, sebagai wujud berterima kasih. Ya, sebuah penghormatan untuk kebaikan orang lain. Sebuah ikrar untuk diri sendiri, bahwa kita berkomitmen untuk ikut serta menyemai kebaikan tersebut.
Apa pun alasannya, kebaikan adalah sebuah penghormatan. Dan “membalas” kebaikan adalah bagian dari menghormati. Bisa saja, menghormati fitrah kebaikan yang tertanam sejak lahir dalam diri. Tentu pula, menghormati pihak lain yang berusaha membangunkan fitrah kebaikan tersebut, yang justru kerap kita ninabobokan dalam kemalasan dan ketakpedulian kita terhadap sesama.
Berterima kasih dengan membalas lebih atau sepadan, sekali lagi, merupakan sebuah kehormatan. Sikap terhormat. Berterima kasih bisa dengan berbagai cara. Tentu, yang memungkinkan terjalinnya hubungan yang baik, dan memberikan kebaikan baru untuk kedua belah pihak. Pun untuk semuanya. Syaratnya, memberi dengan tidak disertai hal-hal yang menyakitkan. Dan menerima dengan tidak merendahkan pemberian orang lain.
Demikianlah berterima kasih. Kadang kita lupa. Atau mungkin, sulit untuk ingat. Bahwa setelah menerima kebaikan dari orang lain, ada dua hal yang bisa kita lakukan: Membalas dengan sikap atau mengganjar dengan ucap. Karena apa pun alasannya, setiap kebaikan yang kita terima, adalah isyarat paling halus bahwa kita harus berbuat baik pula: Kepada si pemberi kebaikan, juga kepada pihak di luar itu. Tujuannya, agar kita menjadi jauh lebih baik. Agar kita menjadi sama-sama baik. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Wallahu ‘alamu.[]
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.