MELAWAN KECEWA

 

 

Kiki Musthafa

 

MENGINGAT-INGAT kembali kapan terakhir kali kita merasa kecewa, mungkin akan menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Tentu, tak ubahnya dengan menghadirkan ketidaknyamanan dalam hati kita. Hal ini mafhum,  karena kecewa adalah “ketidaksetujuan” kita terhadap apa yang terjadi. Sederhananya, kecewa sama halnya dengan tidak menerima keadaan yang ternyata tak sesuai dengan yang direncanakan, dipikirkan, atau tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Kecewa, selalu berlawanan dengan harapan yang dibangun. Biasanya akan berakhir muram, sedih, marah, dan galau—tidak menerima.

Jika kita benar-benar ingat terakhir kali kita kecewa. Maka, setumpuk alasan untuk melegitimasi kemarahan akan terucapkan secara spontan. Alasan untuk menuturkan kesedihan, akan terungkapkan. Alasan untuk memunculkan kegalauan, pun mudah tersampaikan. Tentu, ini sangat manusiawi. Akan tetapi, benarkah kita benar-benar kecewa? Ataukah hanya sebatas alasan, untuk menutupi ketakmampuan kita membendung hal-hal yang membuat kita kecewa?

Secara naluriah, manusia dibekali kecakapan self-defensif—mempertahankan diri. Ia akan serta merta mencari kambing hitam terlebih dahulu, jika ada sesuatu hal yang membuatnya “terpeleset”. Membela diri sendiri, bahwa apa yang membuatnya kecewa adalah karena ulah pihak lain. Bukan karena kelalaiannya mempertahankan sikap agar tidak terkecewakan.

Pembelaan terhadap diri sendiri secara sepihak inilah, yang kemudian menjadi tanda-tanda hilangnya self-control—kontrol diri, dalam diri individu terkait. Ia lupa, bahwa dirinya adalah tempat salah dan lupa—al-insan mahallu al-khatha wa an-nisyan, manusia tempatnya salah dan lupa. Sehingga, semua kesalahan cenderung dilimpahkan kepada pihak lain terlebih dahulu, baru perlahan-lahan akan dilimpahkan untuk dirinya sendiri. Betul, menyadari, tapi tidak sepenuhnya sadar.

Ternyata, mengungkapkan rasa kecewa adalah bagian dari ketaksadaran, bahwa ia tidak tahu apa yang membuatnya kecewa adalah hal terbaik yang dipilihkan Allah untuknya. Ia tak menyadari, bahwa  ada kejutan yang tak terduga, di balik setumpuk rasa kecewa. Bukankah, inna ma’al ‘usri yusro—setelah kesulitan (yang mengecewakan) akan ada kemudahan (yang membahagiakan)?

Kini, sudah saatnya kita membela diri sendiri dengan tidak melimpahkan kekecewaan kepada pihak lain. Juga dengan tidak menyalahkan diri sendiri. Tetapi, dengan berbesar hati mengakui bahwa kita tidak bersalah karena mengakui kesalahan dan akan memperbaikinya.

Demikianlah, kapan terakhir kita kecewa? Jika ingat, itulah terakhir kali kita pongah dan tidak mensyukuri rencana baik Allah selanjutnya. Oleh karenanya, lawan kecewa dengan tersenyum, bahwa—pertama, semua adalah kelalaian kita yang membiarkan kita menjadi kecewa. Kedua, bahwa kecewa adalah pintu tak berkunci yang dibuka Allah untuk menuntun kita pada bahagia. Ini yang kemudian ditunjukkan Al-Quran, “Inna hadza lakum jazaan wa kana sa’yukum masykura—Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri, diberi balasan.” (QS. al-Insan: 22). Shadaqa Allahu al-adhim. []

Leave a comment