MELAWAN BAHAGIA

 

Kiki Musthafa

 

HIDUP selalu memutar di setiap detiknya. Bergantian mewarnai tiap hal yang berlawanan. Sedih dengan suka. Tawa dan tangis. Bahagia, kesulitan. Kaya, miskin. Di atas, di bawah. Pun banyak lagi yang menjelaskan bahwa hidup tidak berada di satu keadaan. Ada keadaan lain yang akan mengisi, memutar, merotasi, menggenapkan ‘keberpasangan’ yang tak pernah luput, menemani fase demi fase yang terlewati dalam hidup.

Ada persepsi kuat tentang kesulitan, yang dianggap merupakan bagian utuh dari terpuruk. Padalah sejatinya tidak demikian. Seolah kesulitan adalah ‘neraka’ yang serta merta meruntuhkan semangat yang sedari awal dibangun. Sehingga dari pagi ke malam, dan malam ke pagi lagi, hidup lebih banyak dihabiskan untuk menghindari apa yang dinamakan kesulitan. Dan ketika jatuh, semangat hidup pun ikut jatuh. Berujung ada putus asa, yang tak jarang menjadi perantara lahirnya sikap tak elok di langkah selanjutnya. Karena sudah mafhum, bertahan hidup tak lepas dari mempertahankan semangat. Pun terkait seperti apa mengisi dan menghidupkan semangat tersebut.

Rasa sulit, kerap menjadi peruntuh semangat. Akan tetapi, justru menjadi pemantik untuk lahirnya semangat baru, bagi yang merasa yakin, akan lahirnya ‘kemudahan’ di balik ‘kesulitan’ yang sedang menderanya. Namun, masalah besar justru hadir ketika dianugerahi ‘bahagia dan kemudahan’. Sejatinya, kebahagiaan adalah ‘kesulitan’ yang paling sukar disadari titik lemahnya. Ini kerap menjatuhkan. Ya, kesulitan yang secara lahir tertampak mewujud, tentu mudah dimengerti. Karena secara manusiawi akan menjadi beban. Baik secara psikis, atau secara fisik. Lain hal, jika ‘kesulitan’ lahir dalam bentuk ‘kebahagiaan’, mudahkah kita mengerti akan beban yang sebenarnya sedang dipikul?

Jika Al-Quran sudah sedemikan menyejukkan dengan menyitir, “Inna maal ‘usri yusro, sesungguhnya di balik kesulitan selalu ada kemudahan.” Maka, sebenarnya kesulitan pun selalu hadir di balik kebahagiaan. Bahagia selalu melenakan, dan mengasingkan diri dari rasa peduli terhadap sesama. Bahagia kerap menyulitkan kita, karena selalu bersentuhan dengan beban dan target pencapaian kebahagiaan lebih dari yang sudah digenggam. Bahagia kerap menghadirkan benteng tebal untuk mengingat Sang Pemberi Bahagia, Allah Azza Wazalla.

Demikianlah, sudah saatnya menikmati bahagia dengan tidak melupakan rasa sulit yang pernah ada. Dengan menyadari, bahwa kebahagiaan adalah ‘charger’ untuk tetap ‘move on’  di saat menghadapi kesulitan sesudahnya. Karena tak terpungkiri, bahagia adalah pintu masuk menuju rasa sulit. Seperti halnya kesulitan, yang disinyalir  Allah sebagai pintu masuk menuju kebahagiaan. Syaratnya, sederhana saja. Hadapi kesulitan dengan bersabar. Dan lawan bahagia dengan rasa syukur. Wallahu ‘Alamu. []

Leave a comment