Gaza dan Palestina adalah peradaban yang amat tua. Jejak sejarah para nabi dan rasul Allah yang mulia banyak terekam di bumi Palestina. Kawasan yang dahulu disebut sebagai wilayah Kanaan itu memiliki kekayaan jejak peninggalan sejarah umat manusia.
Mengutip pendapat para ahli Sejarah, Al Jazeera bahkan menyebut, kawasan Gaza sebagai daerah yang paling lama dihuni di dunia. Sejarawan memprediksi, kawasan ini telah berpenghuni sejak Abad ke-15 Sebelum Masehi. Peradaban-peradaban besar dunia silih berganti menguasai kawasan Kanaan. Era Mesir kuno, Asyur, hingga Romawi, dan kemudian Islam. Semuanya tentu meninggalkan jejak berupa artefak, cagar budaya, dan nilai-nilai.
Bangsa-bangsa beradab di dunia amat mendukung pelestarian cagar budaya peninggalan peradaban sejarah umat manusia. Bukan sekadar untuk memelihara barang antik, artefak dan cagar budaya itu amat tinggi nilainya justru dalam konteks upaya umat manusia untuk lebih memahami dirinya, sejarah, dan budayanya.
Cagar budaya dan artefak adalah sumber belajar yang amat penting. Bukan saja tentang masa lalu, kearifan lokal yang terabadikan dalam berbagai cagar budaya bahkan amat penting juga bagi kelestarian manusia di masa depan.
Seratus hari dalam bombardir yang tidak berperi kemanusiaan, sejumlah besar warisan sejarah dunia yang amat berharga itu kini tinggal menyisakan puing-puing. Kehancuran cagar budaya di Gaza melengkapi kesedihan dunia. Siapa yang mampu meletakkan bangunan-bangunan bersejarah itu tegak kembali di tempatnya setelah kehancurannya hari ini?
Masjid Agung Omari
Mengutip dari laman Al Jazeera, hampir 200 situs bersejarah telah hancur dalam 100 hari Perang Gaza. Situs bersejarah itu meliputi bangunan, infrastruktur, bahkan perpustakaan dan rumah ibadah. Masjid Agung Omari adalah salah satu bangunan rumah ibadah yang hancur itu. Padahal, usia masjid ini tak lagi dalam hitungan tahun, tetapi abad.
Masjid Agung Omari yang berada di daerah Daraj, Kota Tua Gaza, telah tegak berdiri semenjak tahun 1220. Dahulunya, Masjid Agung Omari adalah kompleks Gereja Bizantium yang dibangun semasa Romawi pada abad ke-5 Masehi. Pada abad ke-7 Masehi, Khalifah Umar bin Khattab mampu menaklukkan tanah Palestina, dan Gereja Bizantium diubah menjadi masjid. Nama “Omari” pada Masjid tersebut dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Khalifah Umar Bin Khattab.
Di dalam rentang usianya yang telah amat panjang itu, Masjid Agung Omari sempat jatuh bangun dan beralih fungsi. Peperangan yang kerap terjadi di kawasan ini membuat masjid itu hancur berkali-kali. Pada masa perang salib, Masjid Agung Omari sempat jatuh ke tangan tentara salib dan dijadikan gereja. Pada saat perang dunia I meletus, masjid ini juga pernah rusak parah akibat serangan bom pasukan Inggris.
Layaknya simbol perlawanan pejuang Islam di tanah ini, Masjid Agung Omari selalu berhasil direnovasi kembali, bahkan menjadi lebih megah dan lebih kuat. Ini kali adalah kehancuran yang sama seperti kehancuran sebelumnya. Ia akan tumbuh dan megah kembali seiring menguatnya kekuatan kaum muslimin.
Perpustakaan Masjid
Tetapi yang paling memilukan dari kehancuran kali ini adalah ikut hancurnya Perpustakaan Masjid Agung Omari. Telah lama masjid ini dilengkapi dengan perpustakaan. Bukan sembarang perpustakaan. Mengutip dari situs Al Jazeera, Perpustakaan Masjid Agung Omari ini didirikan oleh Sultan Zahir Baybars, pada tahun 1277. Disebut pernah memiliki koleksi 20.000 buku dan manuskrip langka, buku buku kuno tentang filsafat, kedokteran, hingga mistisisme sufi.
Manuskrip dan buku langka itu terus berkurang dari waktu ke waktu. Saat ini hanya ada beberapa yang tersisa. Tentu ini semakin menjadikan koleksi tersebut amat bernilai karena kelangkaannya itu. Tidak ada yang tahu, apakah masih ada koleksi buku berharga yang tersisa. Perang yang belum lagi usai membuat orang tak bisa mengecek seberapa parah kerusakan yang terjadi pada perpustakaan tersebut.