MENJELANG BERHAJI
MUSIM haji sudah di depan mata. Selepas lebaran, calon haji yang sudah masuk dalam list pemberangkatan tahun ini, berangsur mengadakan acara walimah al-safar. Nyaris setiap minggu sejak lebaran sampai hari ini, selalu saja ada undangan untuk menghadiri acara tersebut. Calon haji meminta dihalalkan segala kesalahannya, meminta ridla dari orang-orang yang selalu berinteraksi dengannya, meminta doa agar semua proses berhajinya lancar dan kembali ke tanah air dengan selamat dan mabrur: Istihlal, istirdla, istid’a.
Perjalanan haji bukan perjalanan biasa. Jarak yang ditempuh—terlebih dari Indonesia—pun bukan jarak yang dekat. Durasi waktu di pesawat saja melebihi delapan jam. Tentu, bukan jarak yang biasa-biasa saja. Sebuah perjalanan—al-safar—dalam sebuah hadis disampaikan dengan frasa qith’atun min al-‘adzab, yakni sebagian dari azab. Konotasi azab dalam hadis tersebut bukan tentang hukuman dari Allah. Namun, tentang kemungkinkan adanya hal-hal yang menyulitkan dan tidak diinginkan dari perjalanan termaksud.
Secara psikis, melakukan perjalanan sejauh berangkat haji, jelaslah tak mudah. Meninggalkan keluarga dan orang-orang tercinta. Dilepas dengan tangis dan doa. Rentan melahirkan hal-hal yang tak diinginkan. Karenanya, pahala haji—terlebih apabila mendapat predikat mabrur—tak ada balasan bagi yang berhaji tersebut kecuali surganya Allah: Al-hajju al-mabruru laisa al-jaza`a illa al-jannata. Demikianlah adanya. Amalan ibadah dengan pahala yang besar, selalu besar pula tantangannya. Sebagai ujian bagi kesungguhan dalam menyempurnakan setiap prosesnya.
Secara fisik, jelas melelahkan. Ritualitas ibadah haji amatlah berbeda dengan ibadah lainnya. Butuh fisik yang prima. Karenanya, faktor kesehatan, menjadi bagian dari indikator istitha’ah calon haji sebelum berangkat ke tanah suci. Isthita’ah yang menjadi alasan turunnya hukum wajib bagi seorang muslim dalam konteks berhaji, bukan hanya mampu secara metari, tetapi pula dalam hal lain terkait kondisi fisik—yang memungkinkannya dapat menuntaskan semua rangkaian ritualitas dan proses berhaji.
Karenanya, perjalanan berhaji bukan perjalanan biasa. Terlebih pembicaraan al-Quran tentang perintah berhaji amatlah berbeda dengan perintah untuk ibadah lainnya. Pertama, kewajiban berhaji tidak tersampaikan secara mutlak. Namun, bersyarat pada man istatha’a ilaihi sabila—bagi mereka yang mampu di jalannya. Memiliki bekal yang cukup dan kondisi tubuh yang prima. Tidak sakit secara fisik dan sehat secara psikis. Uniknya, dalam haji tidak ada alternatif teknis berhaji untuk yang tidak mampu. Harus menunggu mampu terlebih dahulu.
Fakta di atas menunjukkan bahwa berhaji amatlah istimewa. Syarat istitha’ah bukan dimaksudkan untuk menampakkan kelonggaran dan rapuhnya hukum wajib untuk haji, tetapi mengindikasikan perintah lain untuk memaksimalkan ikhtiar agar sampai pada kondisi istitha’ah berhaji. Ikhtiar itu pun hukumnya wajib. Sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya ibadah yang wajib maka hukumnya wajib. Karenanya, niatkan semua yang sedang dikerjakan hari ini, sebagian yang didapat, ditabung untuk haji.
Kedua, perihal pembicaraan Allah yang cukup spesifik dengan menyimpan kata lillah dalam setiap perintah haji dan umrah. Semisal, wa lillahi ‘ala al-nasi hijju al-baiti man istatha’a ilaihi sabila dan wa atimmu al-hajja wa al-‘umrata lillahi. Redaksi yang khusus tentang perintah haji dan umrah dalam al-Quran semata-mata untuk menunjukkan bahwa haji dan umrah harus diniati benar-benar karena Allah. Perihal haji, rentan sekali dalam hal niat yang seringkali berangkat dari motivasi yang lain—selain Allah.
Urusan niat amatlah fundamental. Sangat mendasar dan menjadi penentu sempurna tidaknya amalan ibadah tertentu—terlebih dalam perkara haji. Niat berhaji karena ingin mengukuhkan status sosialnya sebagai orang yang mampu, jelaslan keliru. Hajinya bukan untuk Allah. Termotivasi untuk meluaskan relasi bisnis dan hal duniawi lainnya, jelaslah tak begitu. Hajinya bukan untuk Allah. Terdorong karena ingin melepaskan diri sejenak dari kesulitan hidup, tentulah tidak tepat. Hajinya bukan untuk Allah. Terobsesi untuk meraup simpati politis dari masyarakat di tahun politik, tentu pulalah haji demikian bukan untuk Allah.
Haji yang lillah, sudah tidak lagi terikat dengan ambisi dan obsesesi apa pun terkait dengan kehidupan dunia. Tak peduli dengan sebutan Pak Haji, Bu Haji, Mas Haji, Kang Haji, Jang Haji, Neng Haji, Ceu Haji, Bi Haji, Ki Haji, Ni Haji dan lainnya. Tak peduli dengan apakah orang lain tahu atau tidak kita berhaji. Tak peduli dengan sanjungan dan pujian karena kita diberi kesempatan oleh Allah untuk berhaji. Tak peduli dengan tanah yang habis terjual untuk biaya haji. Tak peduli apa pun. Berhaji hanya memedulikan Allah saja. Semua untuk Allah. Tidak untuk selain-Nya.
Rencananya, calon haji di kloter dan gelombang pertama tahun ini akan diberangkatkan mulai tanggal 24 Mei 2023. Hanya menyisakan beberapa hari. Ketika catatan ini ditulis, pembagian kloter belum rilis. Masih menunggu batas akhir pelunasan pembayaran di tanggal 5 Mei 2023. Setelah itu rilis pembagian kloter berangsur dapat diketahui. Semoga semua calon haji dan petugas haji yang mendampingi, diberikan kekuatan fisik dan mental oleh Allah. Menjadi mabrur dan selamat kembali ke tanah air. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]