Harta Termahal Kita

Masjid Agung Kota Tasik (17/07/2020)

HARTA TERMAHAL KITA
Kiki Musthafa

JANGAN meremehkan doa. Ia mahal sekali. Karenanya, laku di pasaran. Banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan berdagang doa. Ada yang sengaja pasang iklan di lampu merah: Ingin kaya, hubungi saya! Tentu, iklan itu tidak main-main. Serius dia. Ada doa-doanya. Padahal si penjualnya miskin. Karenanya ia jualan doa biar kaya. Selanjutnya ada pula yang jualannya sembunyi-sembunyi. Malu kalau ketahuan jualan. Merasa minder jualan hanya bermodalkan kertas dan pulpen untuk menulis lafaz-lafaz ajimat, botol air mineral bekas dan komat-kamit sebagai syarat. Tiup-tiup, huh! Beres dan dapat bayaran. Padahal jangan malu, berjualan doa itu terhormat. Asal berdoanya kepada Allah. Bukan kepada setan.

Ada yang baik. Ada pula yang buruk. Kawan saya pernah membeli doa ke seorang ahli. Ahli apa, saya tidak tahu. Pastinya ahli doa. Benar tidaknya pun saya tidak tahu. Setahu saya, ia membeli doa. Harganya bervariasi. Apabila objeknya berharga ratusan ribu, doanya paling juga puluhan ribu. Jika bernilai miliaran, doanya bisa mencapai ratusan juta. Mahal sekali. Saking berharganya doa. Memang tidak ada ketentuan tarifnya. Namun, ketentuannya ada di hati masing-masing. Harus paham dan mengerti. Jangan sembarangan membayar. Apalagi dengan amplop kosong. Kabur dan pergi. Bisa sakit hati si penjual. Bisa bahaya akibatnya. Bisa jadi Anda dapat hadiah doa terburuk. Celaka!

Bercanda. Maksud saya kalau berdoa harus hati-hati. Doa tidak terbeli. Tidak pula terbayar. Saking mahalnya. Urusannya bukan dengan manusia. Doa tembus langsung ke Yang Maha Mengabulkan: Allah Azza wa Jalla. Kalau ada orang baik, doakan dengan baik. Jangan menjadikan doa sebagai cadangan. Semisal, karena tidak punya uang untuk bersedekah, lantas berkata, “Saya gak punya apa-apa, hanya bisa mendoakan saja.” Ups, kayaknya doa itu nomor dua. Hanya dianggap cadangan untuk menutupi kelemahan finansial kita. Paradigma itu harus diubah. Menjadi seperti ini, “Saya tetap berdoa, tetapi saya pendosa, sulit rasanya terkabul, karenanya saya ganti dengan memberi uang saja.”

Keren, kan, kalau demikian. Baiknya semua orang memiliki kesadaran yang sama. Namun, bukan berarti ajakan menyurutkan semangat berdoa. Catat, bukan demikian. Sama sekali bukan. Berdoa itu wajib. Harus dilakukan. Agar kita yakin bahwa Allah-lah satu-satunya tempat meminta. Tidak ada yang lain. Cukup, Allah saja. Hanya saja, jangan meremehkan doa. Apalagi diperalat untuk memoles kekikiran kita. Agar tidak terlihat pelit, akhirnya doa dijadikan tumbal. Harus Anda tahu, doa terlalu mahal untuk dibuat murah sedemikian itu. Doa itu proposal khusus yang kita ajukan kepada Maha Pengabul Permintaan. Mahal dan tidak terjual.

Karenanya, sekalipun merasa berdosa, tetap berdoa. Siapa tahu dengan berdoa Anda jadi malu. Logikanya, masak pendosa banyak mintanya. Akhirnya, terbersitlah keinginan untuk bertaubat. Pengin bebas berdoa tanpa batin tertekan. Pengin dimudahkan untuk segala urusan. Pengin dijauhkan dari semua pintu kemaksiatan. Pengin didekatkan dengan semua ruang kebaikan. Lantas, bersedekahnya bagaimana? Jika doa adalah mobil, sedekah adalah bensinnya. Berarti jangan pula meremehkan sedekah. Kalau mampu, sedelah saja. Jangan banyak cing-cong untuk menutupi kekikiran kita. Keduanya adalah harta termahal kita. Doa dipanjatkan. Sedekah diulurkan. Sedekah adalah doa yang digerakkan.

Dengan bersedekah sejatinya kita sedang berdoa. Agar diberkahkan harta yang ada. Agar dilebihkan kebermanfaatannya. Agar menjadi kran untuk mengalirnya rezeki-rezeki baik berikutnya. Banyak-sedikit, alhamdulillah. Hanya saja Anda sering kali alpa. Orang lain dapat musibah, Anda pura-pura tidak kenal. Orang lain dapat undian berhadiah, Anda bergegas mengaku-ngaku saudara. Maaf, bukan hanya Anda, saya juga sama. Maaf juga tulisan saya berputar-putar. Tak apa asal jangan memutar-mutar alasan untuk enggan berdoa dan enggan bersedekah. Keduanya, harta termahal kita. Tidak percaya? Sedekah saja dulu, nanti juga tahu. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]