LAILATUL QADAR: ANTARA KETUPAT DAN BAJU BARU
LAILATUL QADAR:
ANTARA KETUPAT DAN BAJU BARU
Kiki Musthafa
SEMINGGU menjelang Lebaran, fokus kita dipaksa untuk terbagi. Siang hari disibukkan dengan persiapan ketupat dan baju baru. Malam hari, berbekal tenaga sisa, jungkir balik ingin menjemput malam Lailatul Qadar. Dua hal yang boleh jadi kontras, satu menyoal urusan duniawi, satu merujuk pada urusan ukhrawi. Meskipun demikian, keduanya memiliki latar argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Mempersiapkan ketupat dan baju baru—bagi yang mampu—tentu amat dianjurkan. Menjemput pahala seribu bulan di malam Lailatul Qadar, tentu amat pula diharuskan, kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Tentang ketiganya, mari kita diskusikan bersama.
Ketupat yang khas dengan Lebaran, merupakan bagian dari tradisi yang sudah berlangsung lama di Indonesia juga rumpun Melayu lainnya. Di negara lain, belum tentu ketupat dikenal sebagai bagian dari Lebaran. Terlepas dari semua itu, ketupat adalah simbol untuk sesuatu hal yang sederhana, tetapi sarat akan nilai. Tradisi menyantap ketupat dicampur kuah masakan lainnya, menunjukkan bahwa merayakan Lebaran tidaklah harus mahal. Ketupat yang terbuat dari anyaman janur, berisi beras yang tidak seberapa, tetapi mampu menjadi makanan ikonik untuk sebuah perayaan hari raya. Ketupat mengajarkan, untuk menjadi istimewa bisa dimulai dengan cara paling sederhana.
Selanjutnya, baju baru. Ada persepsi bahwa memakai baju baru saat Lebaran adalah wajib. Setiap kita, akan habis-habisan mencarinya di toko dan tempat pembelanjaan yang mendadak memasang diskon besar-besaran. Padahal, tidak ada perintah secara Syara` yang mewajibkan, tidak pula melarang. Hadis Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallama tentang ini, merujuk pada anjuran untuk memakai pakaian yang paling bagus saat hari raya. Artinya, hanya anjuran saja yang mengindikasikan tidak adanya keharusan dan kewajiban. Dengan demikian, jika mampu untuk membeli baju baru, silakan. Jika tidak mampu, memakai baju lama yang terbaik pun diperbolehkan.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang hari raya dan berhias di hari tersebut: Sungguh Abdullah bin Umar berkata, “Umar mengambil sebuah jubah sutra yang dijual dipasar, ia mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, belilah jubah ini serta berhiaslah dengan jubah ini di hari raya dan penyambutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya jubah ini adalah pakaian bagi orang yang tidak mendapat bagian.’” Menyoal hadis ini, terjelaskan di Fathu al-Bari, merujuk pada kebiasaan berhias diri di hari raya yang kemudian dianjurkan.
Terakhir, malam Lailatul Qadar. Beberapa riwayat yang paling ashah dan dihubungkan pada kebiasaan yang dialami oleh ulama-ulama shalih terdahulu, malam seribu bulan ini berada pada salah satu malam di sepuluh hari terakhir—dalam hadis riwayat Muslim, dijelaskan, berada pada tujuh hari terakhir Ramadan. Meskipun Imam al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulum al-Din-nya, menjelaskan beberapa indikator kuat tentang jatuhnya Lailatul Qadar yang dihubungkan dengan hari pertama di bulan Ramadan, tetapi agar tidak kecolongan, ada baiknya sejak malam ke-21 hingga akhir Ramadan, tetap ber-i’tikaf di masjid. Setidaknya, apabila sejak malam ke-21 sudah berada di masjid untuk beribadah, dianjurkan dengan shalat, membaca al-Qur`an dan zikir, Lailatul Qadar sudah pasti didapati.
Sayangnya, tenaga dan pikiran kita sudah lebih dulu terkuras di siang hari untuk urusan kerupat dan baju baru. Sementara itu, untuk ibadah bernilai seribu bulan pahala hanya teralokasikan dari tenaga sisa. Alhasil, sehabis berbuka shaum, maksimal hanya mampu sampai tarawih saja, lalu pulang dan tumbang di kamar tidur. Tak apa, bisa kuat tarawih pun sudah uyuhan, paling tidak jika kebetulan tarawih itu dilakukan di malam Laitatul Qadar, pahalanya setara tarawih seribu bulan. Namun, akan sangat merugi jika kesempatan ibadah lainnya terabaikan dan tersia-siakan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.