KENYANG
Kiki Musthafa
DISADARI atau tidak, kenyang memiliki pengaruh negatif lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Sepintas dari perspektif medis, kenyang (baca: kekenyangan) dapat meningkatkan kadar gula dalam darah dan akan sangat berbahaya bagi penderita diabetes. Gagal jantung menjadi risiko berikutnya. Hal ini disebabkan aliran darah balik dari usus ke jantung. Tentu bagi penderita dekompensasi kordis, ini sangatlah berbahaya. Pun banyak madarat lain yang disebabkan oleh makan yang banyak ini—apalagi terlalu banyak. Dari analisis medis tersebut, setidaknya menjadi bukti sahih bahwa ajaran Islam sangat paralel terhadap kesehatan tubuh. Oleh karenanya, dalam Islam kenyang adalah muasal dari segala kemadaratan.
Di sisi lain, pengaruhnya terhadap mentalis seseorang, kenyang adalah rahim bagi kegagalan dalam banyak hal. Menurut Al-Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin, kenyang (dalam konotasi makan terlalu banyak) membuat manusia malas melakukan ibadah. Sedangkan ibadah adalah akar dari segala sikap dan ucap. Lalu, ucap dan sikap adalah penentu sejauh apa kebaikan tertumbuh atau membusuk, yang menjadi kunci sukses-tidaknya menjalani hidup dengan baik. Kuncinya adalah ibadah yang baik yang kenikmatannya teraih dalam kekhusyukan. Dan itu akan terasakan jika berhasil meninggalkan rasa kenyang. Hal ini, senada dengan apa yang disebutkan pula oleh as-Syakir al-Khauburiyyi dalam redaksi yang lain, “Bahwa meninggalkan makan yang berlebih, dapat melahirkan nikmatnya ibadah.”
Kenyang secara harfiah memang merujuk pada masuknya makanan ke dalam perut secara penuh. Namun, akan semakin pelik jika pemaknaannya digeneralisir pada pengertian lain di luar itu. Kenyang jabatan sampai tega menodai amanah yang dibebankan umat. Kenyang pekerjaan sampai lupa waktu untuk sekedar menunaikan shalat lima waktu saja. Kenyang popularitas sampai tidak ingat peran sosialnya. Kenyang menumpuk harta sampai enggan untuk berbagi. Kenyang terhadap sanjungan, puja-puji, yang membuatnya sombong dan lupa daratan. Ya, rakus terhadap urusan duniawi yang menjadikannya kurus pada perihal ukhrawi.
Disadari atau tidak, kenyang-kenyang lainnya itu, lahir karena hilangnya kenikmatan dalam setiap ritualitas ibadahnya. Shalatnya hanya gerak saja selayaknya senam pagi. Zakatnya hanya urusan menunaikan kewajiban saja. Sedekahnya hanya agar tertampak sebagai dermawan. Uluran bantuannya lebih pada kepentingan sesaat saja. Juga lain hal yang tampak hambar, karena diniati dan dilakukan bukan untuk Allah. Lenyapnya ladzdzatul-‘ibadah—kenikmatan ibadah ini, disebabkan karena banyaknya makanan yang menumpuk masuk dalam perut.
Konklusinya, kesehatan lahir dan batin seseorang ditentukan oleh kenyang-tidaknya ia menyikapi semua hal yang dikonsumsinya. Kenyang menyakitkan. Lapar menyehatkan. Terlebih jika itu adalah lapar karena shaum juga tersebab ikhlas terhadap kefakiran. “Al-faqru syainun ‘indan-naas wa zayyinun ‘inda-Allah—fakir itu keburukan dalam pandangan manusia, akan tetapi hal yang indah di sisi Allah,” ungkap Rasulullah Saw dalam salahsatu hadisnya. Hiasan kefakiran yang diperlengkap rasa lapar akan membawa kasih sayang dan keridlaan Allah Swt, yang akan mengantarkan segala hal baik yang telah dipersiapkan-Nya.
Oleh karenanya, Rasulullah Saw sangat menghindari rasa kenyang. Dalam salahsatu hadis yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah Ra terjelaskan, bahwa Rasulullah Saw tidak pernah membiarkan perut beliau kenyang dari memakan roti selama tiga hari berturut-turut, sampai beliau wafat. Sementara dalam riwayat lain disebutkan, “Keluarga Rasulullah Saw tidak pernah membiarkan perutnya kenyang dari roti yang baik, sampai wafat.” Hadis ini, mengandung pesan yang tidak sembarang. Rasulullah Saw benar-benar mencontohkan bahwa beliau tidak sampai membiarkan perut dalam keadaan kenyang. Apalagi kekenyangan. Ada efek negatif di balik rasa kenyang.
Demikianlah, kenyang lebih banyak berpengaruh negatif daripada sisi positifnya. Baik dari perspektif medis, terlebih terkait dengan mentalitas seseorang secara langsung, juga pengaruhnya terhadap ritualitas ibadah yang dijalaninya. “Tidak ada yang lebih jahat daripada orang yang memadati perutnya dengan makanan untuk menguatkan badannya. Jika perlu ia makan, hendaklah perutnya diisi sepertiga makanan, seperti air (minuman), dan sepertiga lagi untuk udara (bernafas),” tegas Rasulullah Saw dalam hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi. Terakhir, sudah kenyangkah kita makan hari ini? Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.