HARI
Kiki Musthafa
KELAK yang dimaksudkan hari ini adalah kehidupan di dunia itu sendiri. Hari pertama hingga ketujuh, satu bulan, hingga satu tahun. Lalu berlanjut pada hitungan-hitungan waktu yang lebih panjang lagi. Terus berputar, melampaui segala hal tentang kita di kehidupan yang sementara ini.
Berangkat dari perjalanan waktu itulah, hari terpisah dalam tiga poros waktu. Dan terkait hal ini, Syaikh as-Syakir al-Khauburiyyi mengutip apa yang diucapkan Nabiyullah Isa As. Menurutnya, tiga poros itu, pertama, hari yang sudah lalu. Kedua, hari yang akan datang. Dan, ketiga, adalah hari ini. Namun, apakah benar semuanya milik kita?
Hari yang sudah lalu—qad madla maa biyadika minhu syaiun, sesuatu yang sudah hilang dari genggamanmu, tentu telah menjadi milik waktu seutuhnya. Tidak bisa dikembalikan. Hari kemarin tidak bisa dipindah menjadi hari ini. Masa yang sudah lewat, tak mungkin ditarik kembali ke detik ini. Hilang menjadi bagian dari “yang lalu”.
Hari yang akan datang—laa tadrii atudrikuhuu am laa, sesuatu yang kau tidak mungkin tahu, setelahnya, apakah akan menemukan hari itu atau tidak. Karena apa pun itu, hari yang akan datang, masih menjadi tanda tanya. Tidak ada kepastian yang berhak kita pastikan. Oleh karenanya, manusia bertahan karena memiliki harapan yang baik. Dilangitkan dengan doa dan dibumikan dengan kerja keras, untuk memastikan kepastian tersebut.
Hari ini—anta fiihii faghtanim, maka buatlah kesempatan. Setiap kita memiliki kemampuan yang sama untuk berbuat. Tapi selalu tampak berbeda, karena tak mempunyai kesamaan dalam menyikapi kesempatan. Kegagalan sebagian kita adalah karena kerap menjadikan kesempatan sebagai sesuatu yang terus ditunggu. Sementara mereka yang sukses adalah yang membuat dan menjemput kesempatan tanpa harus menunggu. Faghtanim—buatlah kesempatan.
Tiga poros waktu yang terpisah itu, ternyata memiliki keterikatan yang kuat, jika dihubungkan dengan upaya kita menghadapi perjalanan hari—berlanjut minggu, bulan, dan bahkan tahun. Hari yang sudah lalu, sejatinya sudah menjadi milik waktu seutuhnya. Namun, ada yang bisa dipelajari di sana. Direnungkan. Pun dibangun kembali untuk menghadapi ketaktahuan kita tentang hari yang akan datang, juga hari ini—saat harus membangun kesempatan.
Sedangkan hari yang akan datang, murni hanya dimiliki oleh kemungkinan-kemungkinan. Kita tidak tahu apa yang akan menjadi milik kita kemudian. Masih harus belajar pada kejadian di hari yang lalu, untuk menerka kepastian-kepastian baru. Sama hal dengan hari ini. Meskipun kesempatan sudah terbangun, masih saja dihantui tanda tanya, “Apakah yang kita bangun adalah kesempatan yang baik?”
Pada akhirnya, “Falasta tamliku bil-haqiiqati illa saa’atan waahidatan—hakikatnya kau tidak memiliki apa pun kecuali satu waktu.” Dan ternyata, yang dimaksudkan dengan satu waktu itu adalah hari yang sudah lalu. Itulah yang sudah benar-benar kita miliki. Bukan hari ini yang masih tanda tanya, meskipun sudah dipenuhi dengan beragam kesempatan. Juga bukan hari yang akan datang yang sesak dengan ketaktahuan kita tentang lelikunya akan seperti apa.
Hari ini dan hari yang akan datang akan sirna saat harus dihadapkan pada akhir perjalanan. “Idzil mautu min saa’atin ilaa saa’atin—karena kematian datang dari satu waktu (hari ini) ke waktu yang lain (hari yang akan datang),” ucap Nabiyullah Isa As terus memberikan peringatan, “fabaadir fii haadzan-nafsi al-waahidi ilath-thaaati qabla an-tafuuta wa ilat-taubati qabla an-tamuuta—maka bergegaslah (dalam menyikapi hidup yang satu ini) dengan melaksanakan taat sebelum wafat dan taubat sebelum tiba kematian,” lanjut Nabiyullah Isa As saat menjelaskan perjalanan hari sebagai sebuah kehidupan.
Ya, demikianlah yang dimaksud dengan hari adalah kehidupan di dunia itu sendiri. Hari pertama hingga ketujuh, satu bulan, hingga satu tahun. Lalu, berlanjut pada hitungan-hitungan waktu yang lebih panjang lagi. Terus berputar melampaui segala hal tentang kita di kehidupan yang sementara ini. Semoga cinta-Nya selalu membersamai setiap hari-hari kita. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.