Memilih

MEMILIH

Kiki Musthafa

 

HIDUP adalah pilihan. Dan Islam memandang pilihan sebagai sesuatu yang tidak menyulitkan. Meskipun, di saat-saat tertentu akan menjadi keharusan ketika pilihan tersebut terkait langsung dengan aturan Syara’—baik dan buruk menurut agama, yang menjadikan seorang hamba pantas untuk diberi pahala atau sebaliknya ditimpa setumpuk dosa. Sehingga, benar adanya, bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi tertentu yang harus dihadapi dan diterima. Bagi orang yang “berakal” (yang menyadari bahwa segala yang terjadi adalah hal terbaik menurut Allah), pilihan serumit dan sesulit apa pun, adalah tempat baginya untuk memperbanyak amal shaleh.

 

Syaikh Nawawi Al-Bantany, menuliskan ungkapan Ibnu Abbas RA., terkait beberapa hal yang akan menjadi pilihan orang “berakal”—saat harus memilih. Pertama, al-faqru ‘alal ghina, lebih memilih fakir daripada kaya. Orang yang “berakal” cenderung menganggap bahwa kaya (memiliki harta berlebih) adalah petaka. Semacam ranjau yang ia takutkan akan menjatuhkannya pada keterpurukan: melupakan Allah dan Rasul-Nya, menyingkirkan syukur karena melulu terlenakan oleh gemerlapnya dunia. “Al-faqru syainun ‘indannasi wa zayyinun ‘indallah—fakir itu sesuatu yang jelek menurut pandangan manusia, tapi hiasan terbaik menurut Allah,” sabda Rasulullah SAW., dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh ad-Dailami.

 

Kedua, wadzdzullu ‘alal ‘izza, lebih memilih supel bergaul daripada bersikap eksklusif. Cenderung senang berbaur dengan masyarakat dan sabar setiap menerima hal-hal yang tidak mengenakkan. Rasulullah SAW., bersabda, “Al-mu’minu al-ladzi yukhalitunnasa wa yashbiru ‘alaa adzahum afdlalu minalmu’mini al-ladzi laa yukhalitunnasa wa laa yashbiru ‘alaa adzaahum—orang mu’min yang suka bergaul dengan banyak orang serta sabar atas keburukan yang mereka lakukan, adalah lebih baik daripada orang mu’min yang tidak pernah bergaul dan tidak sabar atas keburukan yang mereka lakukan.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

 

Ketiga, wattawadlu’ ‘alalkibri, memilih tawadlu’ daripada takabur. Rendah hati daripada sombong. Ini selaras dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW, atau perkataan ulama, “Man tawadla’ takhasyysyu’an lillah, wa man tathawala ta’aadhuman wadla’ahullah—barang siapa bersikap tawadlu’ karena Allah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya, dan barang siapa berani bersikap congkak, sombong, niscaya Allah akan menghinakannya.”

 

Keempat, waljua’ ‘alasysyab’i, memilih lapar daripada kenyang. Dalam beberapa keterangan dijelaskan, kenyang seringkali menjadi penyebab kerasnya hati. Angkuh. Dan sulit menerima segala hal yang baik. Oleh karenanya, Rasulullah SAW., bersanda, “Idza aqalla ar-rajulu at-ththu’ma malaallahu jaufahu nuuran—jika seseorang sedikit makannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan cahaya.” (HR. Dailami)

 

Kelima, walghamma ‘alassurur, memilih sedih daripada gembira. Bagi orang yang “berakal”, kesedihan adalah jalan termudah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Suatu saat Rasulullah SAW., berseru, “Hendaknya kalian bersedih, karena bersedih itu merupakan kunci hati.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana caranya bersedih itu? Beliau menjawab, “Laparkanlah perutmu dan hauskanlah kerongkonganmu.”

 

Keenam, wadduuna ‘alalmurtafi’, memilih rendah diri daripada menonjolkan dan menyombongkan diri sendiri. Sikap terpuji ini, sesuai yang diisyaratkan Rasulullah SAW, “Inna tawadhua’ bidduni min syarfil majaalisi—sesungguhnya etika yang mulia di majelis pertemuan adalah sikap rendah diri kepada orang yang lebih bawah—status sosialnya dsb.” (HR. Thabrani)

 

Demikianlanh pilihan orang yang “berakal” ketika dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang muncul dalam hidupnya. Baginya (yang menyadari bahwa segala yang terjadi adalah hal terbaik menurut Allah), pilihan serumit dan sesulit apa pun, adalah tempat untuk memperbanyak amal shaleh. Pilihan tersebut yang akan menjadikannya seorang hamba yang terjaga dari perbuatan yang tidak diinginkan Allah. Dan tentu, menyempurnakan statusnya sebagai seorang muslim. Yang mencintai dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Wallahu ‘alamu.[]