Pergi, Ramadhan Telah Pergi

 

Kiki Musthafa

 

SEBAGIAN dari kita. Atau bahkan semua. Tentu pernah mengalami perpisahan. Baik dengan saudara. Keluarga. Juga orang lain yang dekat dengan kita. Sehingga, pertemuan yang pernah ada, perlahan akan menjadi simpanan kita di rak kenangan.

Lazimnya sebuah perpisahan—tentu, dominan diliputi rasa sedih. Karena hampir semua kata “ditinggalkan” tidak ada yang bahagia. Yang sebelumnya bersama, tidak lagi ada. Yang sebelumnya hadir, kini pergi untuk waktu yang entah. Sekali lagi, semua berangsur menjadi kenangan.

Di penghujung Ramadhan, perpisahan dan perasaan ditinggalkan seperti nyata. Berpisah dengan bulan suci yang dikatakan Rasulullah SAW., sebagai bulan mulia. Bulan yang seandainya semua orang tahu tentang kemuliaan Ramadhan, maka niscaya ia akan berharap, bahwa semua bulan adalah Ramadhan.

Ramadhan seperti gerbong panjang dari sebuah kereta. Satu bagian, gerbong berisi segala doa yang akan terkabul. Bagian kedua, disesaki dengan bermacam shadaqah yang akan dibalas oleh Allah. Bagian ketiga, dipenuhi dengan kebaikan yang akan dilipatgandakan. Dan gerbong selanjutnya, ditempati segala macam adzab yang akan ditahan, dan tidak akan diturunkan untuk umat Muslim.

Kereta Ramadhan inilah, yang terus melaju selama tiga puluh hari (mulai awal Ramdhan sampai menjelang Idul Fitri), dan kaum Muslimin berada di dalamnya. Diberikan berbagai fasilitas istimewa di setiap gerbongnya. Akan tetapi, fasilitas istimewa itu akan hilang, tepat ketika kereta Ramadhan ini sampai di stasiun terakhir.

Turun dari stasiun terakhir. Kita akan pulang ke rumah masing. Tanpa menikmati kembali fasilitas istimewa, yang ada selama perjalanan dengan kereta Ramadhan, yang Allah berikan untuk kita.

Sebelum pulang, di peron stasiun, kita lihat kereta Ramadhan pergi. Dan kembali tahun depan. Perpisahan yang panjang. Sedihkah kita berhadapan dengan perpisahan ini?

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, Rasulullah SAW., bersabda, “Ketika sampai pada malam terakhir Ramadhan, langit, bumi, dan para malaikat menangis, karena turunnya musibah bagi umat Nabiyullah Muhammad SAW.” Kemudian Jabir bertanya, “Apa yang dimaksudkan dengan musibah tersebut?” Rasulullah SAW., menjawab, “Ramadhan pergi. Maka sesungguhnya di dalam bulan Ramadhan, semua doa dikabulkan. Segala shadaqah diterima (dibalas oleh Allah). Setiap kebaikan dilipatgandakan. Dan adzab apa pun akan ditahan.”

Di hadis yang lain, Rasulullah SAW., bersabda, “Di bulan Ramadhan, Allah Ta’ala memerintahkan Malaikat pencatat amal, untuk mencatat semua amalan-amalan baik umat Nabiyullah Muhammad SAW. Dan melarang mencatat semua amalan-amalan buruknya. Dan menghapus semua dosa-dosanya yang sudah lampau.”

Tetapi Ramadhan akan pergi. Belum tentu tahun depan bisa bertemu kembali. Ini adalah musibah. Dan jika perginya Ramadhan adalah musibah terbesar bagi umat Muslim. Sehingga langit, bumi, dan para malaikat menangis. Maka, sudah selayaknya pula kita bersedih, menangis, karena perginya Ramadhan. Karena harus berpisah dengan keutamaan-keutamaan (fadlail-fadlail) dan kemuliaan Ramadhan.

Penghuni surga adalah mereka bahagia ketika Ramadhan tiba. Dan bersedih, bersimpuh, menangis tersengguk-sengguk ketika Ramadhan pergi. Ada banyak kesempatan, untuk meminta hal terbaik kepada Allah di Ramadhan. Ada banyak kemungkinan, untuk menjadi yang terbaik (dengan berbagi terhadap sesama) di hadapan Allah, di Ramadhan. Ada banyak harapan, untuk melipatgandakan kebaikan, untuk menggapai karidlaan Allah, di Ramadhan. Ada banyak perlindungan Allah dari adzab (karena dosa-dosa yang pernah dilakukan), di Ramadhan. Tetapi, kenapa justru kita sia-siakan?

Pergi. Ramadhan akan pergi. Di detik-detik terakhir perpisahan ini, kita seperti baru saja turun dari kereta Ramadhan. Berjalan menuju peron. Kemudian melihat kereta Ramadhan pergi perlahan-lahan. Kita diam, seakan hanya akan menjadikan Ramadhan bagian dari kenangan.

Sejurus kemudian, suara peron stasiun bergema, “Kereta Ramadhan pergi. Masihkah tahun depan bertemu kembali?” Dari stasiun terakhir, kita pulang dengan sekantong oleh-oleh bernama penyesalan. []