Mengenal hakikat dunia

MENGENAL HAKIKAT DUNIA

Kiki Musthafa

 

DUNIA seperti sampan di tengah samudera. Kita harus mengayuh dayungnya, menjaga keseimbangan, agar tidak karam dan tenggelam. Dunia adalah kehidupan itu sendiri. Bersifat sementara dan penuh dengan tipu daya.

 

Menyikapi dunia—ataupun lebih kita khususkan tentang hal duniawi, 14 abad yang lalu Rasulullah SAW., sudah memperingatkan kita tentang kegemerlapan dunia yang akan menjerumuskan. Kekhawatiran Rasulullah SAW., terbukti hari ini. Manusia kini lebih banyak melarutkan dirinya dalam mencari hal duniawi. Saling sikut. Saling mengalahkan. Bahkan sampai menggadai iman dan harga diri. Tak lain, hanya demi kenikmatan duniawi yang sesaat, dengan melupakan kenikmatan abadi di akhirat kelak. Mereka tersesat dalam permainan yang penuh dengan sandiwara dan kebohongan, “Wa mal hayaatudunnya illa la’ibun wa lahwun—dan tidak ada kehidupan di dunia, kecuali permainan dan sandiwara belaka.”

 

Terkait dengan persoalan dunia di atas. Rasulullah SAW.,memiliki pandangan tersendiri tentang hal ini. Dalam salah satu haditsnya, Rasul bersabda, “Addunnya daarun man laa daa ra lahu. Wa maa lun man laa maa la lahu. Wa lahaa yajma’u man laa ‘aqla lahu. Wayasytaghilu bisyahaawatiha man laa fahma lahu. Wa ’alaiha yahzanu man laa ‘ilma lahu. Wa laha yahsudu man laa lubba lahu. Wailaiha yas’a man laa yaqiina lahu”.

 

Menurut Rasulullah SAW., pertama, “Addunya daarun man laa daa ra lahu”. Bahwa dunia adalah tempat bagi mereka yang tidak memiliki tempat di akhirat nanti. Hal ini mengindikasikan, bahwa mereka pencari dunia yang tamak, rakus, tidak peduli terhadap sesama, dan tidak mengenal rasa syukur dengan melupakan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak akan memiliki tempat terbaik di akhirat. Mereka terjatuh pada permainan dunia yang penuh tipu daya—innamal hayaatuddunya la’ibun walahwun.

 

Selanjutnya, kedua, “Wa maa lun man laa maa la lahu.” Bahwa dunia adalah harta bagi mereka yang tidak akan memiliki harta di akhirat kelak. Tentu yang dimaksudkan dengan “maa lun—harta” di sini adalah amal perbuatan baik kita ketika di dunia. Sehingga, jika dunia ini dijadikan alat untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Maka, jangan pernah berharap akan mendapatkan kenikmatan hakiki di akhirat kelak. Dan akan menjadi orang yang “paling miskin” di akhirat, karena tidak memiliki bekal amalan-amalan baik ketika hidup di dunia.

 

Oleh karenanya, orang mu’min yang taat sering kali terasing dari kenikmatan dunia. Atau kadang sengaja menghindari dan tidak terlalu terobsesi. Hal ini nyata adanya, karena, “Addunya sijnul mu’minin, wa jannatul kaafirin—dunia adalah penjaranya orang mu’min dan surganya orang kafir.”

 

Ketiga adalah, “Wa lahaa yajma’u man laa ‘aqla lahu”. Di sini dijelaskan, bahwa mereka yang tidak berakal adalah mereka yang terus menerus mengumpulkan hal duniawi. Sehingga di sebut, “Man laa ‘aqla lahu—mereka yang tidak berakal”. Sedangkan akal adalah keutamaan manusia sebagai makhluk terbaik. Dan jika akal tidak dimaksimalkan karena silau oleh gemerlapnya kehidupan dunia, maka manusia dengan sendirinya justru menjadi mahkluk terburuk. Yang berhak untuknya laknat Allah SWT., di dunia dan di akhirat nanti.

 

Keempat, “Wayasytaghilu bisyahaawatiha man laa fahma lahu”. Artinya, orang yang kerap menyibukkan diri dengan urusan duniawi adalah mereka yang tidak faham hakikat dunia itu apa. Menghabiskan waktu dan menghambakan diri untuk diperbudak setiap hal yang bersifat duniawi. Menguras pikiran dan perasaannya untuk mengejar-ejar materi. Melanggar aturan Syara’ untuk meraih kebahagiaan dunia. Merekalah orang yang tidak memahami hakikat kehidupan dunia. Sehingga selalu menjadikan hal duniawi sebagai ukuran tinggi-rendahnya derajat seseorang. Ini yang kemudian diungkapkan Rasulullah SAW., di hadits lain, “Al faqru syainun ‘indannas. Wazayyinun ‘indallah—fakir itu hal jelek bagi manusia. Dan hal terindah bagi Allah”.

 

Dan kelima,  “Wa ’alaiha yahzanu man laa ‘ilma lahu”. Orang yang bersedih dan selalu menangisi hal yang bersifat duniawi, maka “laa ‘ilma lahu” termasuk orang yang tidak berilmu. Orang yang tidak mengetahui betapa dunia hanya sebatas persinggahan sesaat. Yang sering kali menjatuhkan manusia pada keterpurukan.

 

Ketakmengertian terhadap hakikat dunia ini, yang sering dijadikan tolak ukur kebahagiaan. Sehingga akan bersedih saat kesementaraan itu tak bisa teraih. Padahal menjadi fakir bukan alasan untuk bersedih. Pun menjadi kaya bukan alasan untuk menjadi bahagia. Keduanya akan membahagiakan jika disyukuri dan dijadikan bekal untuk beribadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW., “Ya ma’syaral fuqara a’thullahar ridla min qubuulikum, tadhafaruu tsawaaba faqrikum. Wa illa falaa—wahai orang-orang fakir serahkanlah keridlaanmu (akan kefakiran) dalam hatimu, maka Allah akan membalas kefakiranmu (dengan pahala berlipat). Akan tetapi, jika tidak, maka Allah akan melaknatimu.”

 

Selanjutnya, yang keenam, “Wa lahaa yahsudu man laa lubba lahu”. Artinya adalah bahwa orang yang hasud terkait urusan duniawi, merekalah orang-orang yang tak memiliki hati nurani. Dan ujung-ujungnya bermuara pada rasa benci, tidak suka dengan keberhasilan dan kesuksesan duniawi orang lain. Sehingga, hilanglah rasa bersyukur di hatinya. Dan kerap mengutuk kefakiran dirinya sendiri, “Kadzal fakru ayyakuna kufran—bahwa kefakiran kerap kali menjerumuskan pada kekufuran”. Dan hasud adalah salah satunya, yang menyebabkan rusak hati nuraninya.

 

Terakhir adalah, “Wa ilaiha yas’a man laa yaqiina lahu”. Bahwa orang yang tidak sepenuhnya yakin terhadap Allah SWT., mereka cenderung berjalan di dunia—mencari kehidupan duniawi, dengan menyisihkan nilai-nilai berkebaikan terhadap sesama, pun melanggar batas-batas aturan Syara’. Pada akhirnya hanya kesombongan yang mengiringi jejak langkahnya. Dan keterpurukanlah yang akan menjadi hilir perjalanannya.

 

Demikianlah pandangan Rasulullah SAW., tentang kehidupan duniawi. Tentu, apa yang diungkapkan Rasulullah SAW., bukanlah sebentuk larangan untuk mencari hal yang bersifat duniawi tersebut. Tetapi, sebagai peringatan, bahwa dunia seringkali menipu dan melenakan. Membodohi dan menjatuhkan.[]