Menghitung kepastian
Kiki Musthafa
HIDUP selalu berbicara tentang beberapa kepastian. Makan menghilangkan lapar. Minum melenyapkan haus. Naik, meninggi. Turun, rendah, dan lain sebagainya. Dalam Islam, hal-hal pasti sedemikian itu tak bisa dilepaskan dari niyah (niat), kaifiyyah (cara), dan ghoyahnya (semangat). Semisal, apabila kita shalat dengan baik, (pasti) mendapat pahala dan terhindar dari dosa. Zakat, (pasti) membersihkan harta. Dan banyak hal lain yang bisa disebutkan terkait amalan-amalan termaksud yang berbicara tentang “kepastian”.
Terkait erat dengan perbincangan di atas, Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah, berucap tentang tiga hal “kepastian” berkenanaan dengan sikap interaktif manusia dengan lingkungan sosialnya. Tentu, ini pun tak lepas dari pewacanaan niyah (niat), kaifiyyah (cara), dan ghoyah (semangat), yang diusung di dalamnya.
Seperti yang dituliskan Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul al-Ibad, tiga “kepastian” yang diucapkan menantu Rasulullah SAW., tersebut adalah: Pertama, tafaddlu ‘ala man syi’ta faanta amiiruhu—berbuat baiklah kepada yang kau kehendaki, maka (pasti) kau akan menjadi tuannya (dari orang yang kita berikan kebaikan). Jika niyah (niat), kaifiyyah (cara), dan ghoyahnya (semangat) baik, maka kebaikan tersebut akan menjadi jembatan terbaik untuk menjadikannya dan pihak lain menjadi jauh lebih baik. Sedangkan faanta amiiruhu—kau akan menjadi tuannya, adalah sebentuk majazi yang memungkinkan kita layak dihormati, disegani, pun layak mendapatkan kebaikan-kebaikan yang lebih dari pihak lain (tanpa meminta).
Formulasinya, apabila kita berbuat baik, maka orang lain akan berbaik sikap, ucap, pula terhadap kita. Dan Allah sudah tentu akan mengganjar kebaikan tersebut dengan karunia dan keridlaan-Nya. Meskipun hanya seutas senyum. “Tabassumuka fi wajhi akhiika laka shadaqatun—senyummu terhadap saudaramu adalah shadaqah bagimu,” sabda Rasulullah SAW., dalam salah satu haditsnya.
Akan tetapi, jika niyah (niat), kaifiyyah (cara), dan ghoyahnya (semangat) buruk—tidak sesuai dengan tuntunan Syara’, maka kebaikan yang diberikan kepada pihak lain, seringkali berujung pada rasa sakit-menyakitkan. Bisa saja, hanya sebagai cara untuk memperbudak orang lain agar tunduk kepadanya, untuk kepentingan-kepentingan yang hanya menguntungkan dirinya saja. Kebaikan sedemikian ini, bukanlah terkatakan hal baik, melainkan kemurkaan Allah yang akan menjerusmuskannya pada kesusahan. “Yaa ayyuhallladziina aamanuu laa tubthiluu shadaqaatikum bil manni wa al-adza—wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu membatalkan(merusak, menodai, menghancurkan) sedekahmu dengan cara yang dilarang dan menyakitkan,” firman Allah dalam Al-Quran.
Kedua, wa as’ala man syi’ta faanta asiiruhu—dan meminta-mintalah kepada siapapun yang kau kehendaki, maka (pasti) kau akan menjadi budaknya. Ini kebalikan dari hal pertama di atas. Apabila kita meminta-minta sesuatu hal kepada pihak lain, maka kita akan menjadi budaknya. Dan ia akan menjadi tuan kita. Ini kepastian yang tak bisa tertolak. Sehingga, dalam salah satu keterangan di Fathul Mu’in dijelaskan, “Tahammulu al-mina haramun—menanggung pemberian yang besar itu haram.”
Sederhanya, menerima pemberian besar yang bersyarat dan memungkinkan akan menyusahkan dan menyudutkan kita pada perbuatan munkar, adalah haram. Semisal, sebagian kiai dan pesantrennya mendapat bantuan dari pejabat dengan dalih untuk proses pembangunan pesantren, tetapi dengan syarat ia harus rela menjadi corong si pejabat untuk memuluskan ambisi politisnya, yang berujung pada mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Itu haram! Saat ini, sebagai kiai dan pesanten bukan hanya menerima, tapi mengemis rupiah dari pejabat sembari rela mempermalukan dirinya di depan umat, dengan menjadi “jurkam” di majelis-majelis pengajian yang sudah ia segel dengan tarif tertentu. Itu haram!
Termasuk dalam konteks “meminta-minta” adalah mengharapkan, mencintai, mengejar-ngejar hal yang bersifat sementara, yang cenderung berpotensi memperbudak segala bentuk aktivitas kita. “Man ahabba syaian fahuma asiiruhu—barang siapa yang mencintai sesuatu maka ia adalah budaknya,” sabda Rasulullah SAW., terkait dengan mencintai yang dapat memperbudak.
Ketiga, jika kita mampu melepaskan diri dari hal buruk yang dilahirkan oleh dua hal di atas—karena niyah (niat), kaifiyyah (cara), dan ghoyahnya (semangat) menyimpang dari yang diinginkan Syara’, maka, “Wastaghni ‘amman syi’ta fainnaka nadhiruhu—jika kau mampu merasa cukup (menahan diri dari meminta-minta dari siapapun yang kita kehendaki), maka (pasti) kau akan setara, sama kayanya, dengan orang yang akan kau pintai kebaikan. Sehingga, dengan mampu menahan dari “menjadi hamba” pihak lain, kita akan terhindarkan dari kesusahan hidup, kegelisahan, keterpurukan, tekanan, intimidasi, dsb., yang diibaratkan Rasulullah SAW., sebagai bara api, “Man saala min ghairi faqrin fakaanama ya’kulu al-jamra—barang siapa meminta-minta tanpa benar-benar membutuhkan (dalam artian dalam keadaan ia sebenarnya mampu untuk berikhtiar sendiri) maka seolah-olah ia memakan bara api.”
Demikianlah “menghitung kepastian” dengan menimbang-nimbang kemanfaatan untuk diri sendiri juga pihak lain. Dan tentu dengan tidak melupakan niyah (niat), kaifiyyah (cara), dan ghoyahnya (semangat), yang senantiasa berada pada apa yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Wallahu ‘alamu. []