Meremehkan
Kiki Musthafa
TANPA disadari, sering kali kita menganggap sepele hal-hal yang sebenarnya justru memiliki manfaat/kebaikan untuk kita. Ini sering terjadi—bahkan kadang dengan disadari. Sengaja ditinggalkan, karena secara lahir tampak tidak meyakinkan kebermanfaatannya. Sedangkan di balik semuanya, segala hikmah tersimpan.
Semisal, meremehkan hal-hal kecil, semacam membuang sampah, justru berakibat besar melahirkan sarang penyakit. Meremehkan untuk tidak menyapa tetangga, tidak menutup kemungkinan akan menjadi awal dari terputusnya silaturrahmi. Kita terbiasa menyepekan hal-hal sederhana, dan kemudian terjebak pada permasalahan yang besar.
Dalam Islam, meremehkan sesuatu hal jelas dilarang. Karena secara langsung akan berakibat buruk bagi dirinya, juga bagi pihak lain sebagai mitra dalam bermasyarakat. Dijelaskan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani, ada lima hal yang akan terjadi jika kita meremehkan lima hal.
Pertama, barangsiapa meremehkan ulama, maka ia akan rugi dalam urusan agamanya. Artinya, barang siapa yang tidak mengenal ulama, untuk belajar agama kepadanya, meminta nasihat kebaikan kepadanya, pun bersilaturrahmi untuk meminta doanya, maka ia akan terasing dari persoalan-persoalan akhiratnya. Tentu, yang dimaksud adalah ulama yang baik, yang istiqomah di jalan Allah.
Kedua, barangsiapa meremehkan pemerintah, maka ia akan rugu urusan dunianya. Benar adanya. Jika kita menghindar dari pemerintah, maka segala urusan duniawi akan terhambat. Sebab apa pun alasannya, pemerintah adalah pengendali setiap kebijakan dalam kehidupan sosial-bermasyarakat kita.
Ketiga, barangsiapa meremehkan tetangga, maka ia akan rugi ketika memiliki keperluan. Tidak bisa disangkal, sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa melepaskan diri dari keberperanan pihak lain dalam hidup kita. Sehingga, menjaga hubungan baik dengan tetangga merupakan awal dari terciptanya segala kebaikan.
Keempat, barangsiapa meremehkan kerabat dekat, maka ia akan merugi karena tidak mendapatkan perhatian (kasih sayang). Kerabat adalah bagian terdekat dari lingkungan kita. Ia adalah keluarga, tempat kita melewati segala aktivitas keseharian kita. Oleh karenanya, jika kita meremehkan mereka, maka sangat memungkin kita tidak akan mendapatkan perhatian mereka. Kasih sayang mereka. Dukungan mereka. Juga segala keberperanan mereka untuk kebaikan kita. Untuk kebaikan bersama.
Kelima, barangsiapa meremehkan istrinya, maka ia akan kehilangan kenikmatan hidup. Istri sebagai pendamping hidup, tentu bukan hanya sebatas pendamping saja, akan tetapi menjadi inspirator yang mampu menghadirkan segala hal terbaik dalam hidup kita. Dalam sejarahnya, di balik kesuksesan orang-orang hebat, selalu ada istri-istri yang baik. Istri-istri yang senantiasa memberikan dukungan. Semangat. Juga motivasi untuk beristiqomah di jalan yang baik. Akan tetapi sebaliknya, di balik orang-orang yang gagal, orang-orang yang tersesat, orang-orang yang tidak memiliki kebermanfaatan lebih untuk kehidupan sosialnya, hampir dipastikan, di belakangnya terdapat istri-istri yang tidak bisa berperan lebih—selain teman tidur—apalagi istri-istri yang selalu menyusahkan kehidupan suaminya. Ia menjadi kunci kebahagiaan hidup.
Berangkat dari lima hal yang dijelaskan Syaikh Nawawi al-Bantani di atas, setidaknya merupakan anjuran pula untuk tidak meremehkan hal lainnya. Hal-hal sederhana yang sering terlupakan. Jika dalam istilah kearifan Sunda kita sering mendengan, “Kabeureuyan mah ku cucuk lauk nu letik, lain ku cucuk munding nu badag.” Bahwa setiap masalah besar selalu dimulai dari hal kecil yang kerap kali kita remehkan.
Demikianlah, betapa memerhatikan sesuatu hal—sekecil apa pun itu—sangat penting. Dan tentu, memiliki akibat tersendiri yang disadari atau tidak justru menggiring kita pada permasalahan yang lebih besar. Semoga Allah senantiasa menuntun langkah kita untuk tetap diberikan hal terbaik. Amin. Wallahu a’alumu.[]