Pemimpin Ripuh
PAMIMPIN RIPUH
Kiki Musthafa
BAHKAN orang awam pun tahu. Jika selama ini kemiskinan, ketaksejahteraan, juga hal lain yang tak mengenakkan lainnya di negara ini, dikarenakan kita tidak memiliki figur pemimpin yang layak diharapkan. Yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. “Anu ngarti mun tukang becak, tukang macul, tukang nemok, tukang angkot, hese dahar,” ucap Mang Jajang dengan kesimpulan sederhana. “Pamimpina ripuh, mikiran beuteung sorangan.”
Sejalan dengan apa yang dikatakan Mang Jajang, seorang anak SMA bernama Jang Hari pun mengungkap hal yang tak jauh berbeda, “Anu ngarti mun sakola gratis teh teu kabeh merata, anu faham mun biaya buku teh marahal.” Ia pun sampai ada satu kesimpulan yang yang sama, “Pamimpin ripuh, mikiran beuteung sorangan.
Di tempat yang lain, di pinggir jalan, Si Ojo masih berada di lampu merah. Menadahkan bungkus plastik, menabuh kecrik, menyanyikan apa saja yang bisa membuat pengendara bermurah hati memberi recehan untuknya makan hari ini. Bahkan mungkin, untuk ibunya juga yang sedang sakit di rumahnya yang bocor. Si Ojo bergumam, “Anu ngarti mun hirup di jalan teh nyeri.” Senada dengan apa yang disimpulkan Mang Jajang dan Jang Hari, ia mengeluh, “Pamimpin ripuh, mikiran beuteung sorangan.”
Sedangkan di sawah, Mang Karna masih berpeluh dengan cangkul dan baju lusuh. Di pasar, Bi Iyam termangu menunggu pembeli yang terus mengomel tentang harga bahan pokok yang tak juga turun. Di sekolah, Pak Guru Dani masih berusaha sabar dengan gaji seorang honorer, meski ia sudah melewati 20 tahun pengabdian. Dan di pabrik, Kang Husen masih tegar meski UMR yang ada hanya mencukupi bayar kontrakan tiap bulannya—belum makan dan ini-itu untuk istri dan ketiga anaknya. Semua berharap, “Anu ngarti kana kasusah jalma leutik.” Mereka sama ngenesnya, “Pamimpin ripuh, mikiran beuteung sorangan.”
Dalam Islam, seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang mengerti penderitaan rakyatnya. Terlebih rakyat kecil, yang secara ekonomi selalu terpinggirkan. Bukan seorang pemimpin yang berkoar berpihak pada rakyat, tapi diam-diam menjerat. Diam-diam menjadikan suara rakyat hanya sebagai tangga untuk memanjat kepentingan yang lebih tinggi. Untuk dirinya. Untuk golongannya. Islam mengecam karakteristik pemimpin sedemikian itu. Bahkan apabila ucapan seorang pemimpin berbeda dengan sikap dan kebijakan yang diambilnya, bukankah itu pengkhianatan? Kebohongan? Dalam al-Quran hal sedemikian itu adalah tabiat manusia munafik. Pemimpin—mutraf , yang mengingkari apa yang diamanahkan Allah kepadanya, “Waidza aradnaa an-nuhlika qaryatan amranaa mutrafiihaa fafasaqu fiihaa fahaqqa ‘alaiha al-qaulu fadammarnaahaa tadmiiraa—Dan ketika Kami hendak menghancurkan suatu daerah, sedangkan Kami memerintahkan mutraf (pemimpin) mereka untuk taat tetapi mengingkari, maka benar adanya sebuah perkataan (ketentuan) Kami akan menghancurkan daerah tersebut sehancur-hancurnya.” (QS. al-Isra: 16)
Syaikh as-Syakir al-Khauburiyyi dalam kitabnya “Futuhat al-Ilahiyyah” menjelaskan bahwa yang dimaksud “mutrafiihaa” adalah “ruusihaa” yang berarti pemimpin mereka. Jelas sudah, sederhananya, jika seorang pemimpin mengingkari ayat Allah (dengan berkhianat, dhalim dan membohongi rakyat, korup, dst.), maka semua akan merasakan kehancuran yang sehancur-hancurnya, “fadammarhnaahaa tadmiiraa.”
Dan dalam konteks ini, kehancuran itu nyata adanya. Kemiskinan yang menjerat Mang Jajang. Keputusasaan yang dirasakan Jang Hari dan Si Ojo. Kegundahan Bi Iyam di pasar. Pengabdian Pak Guru Dani yang tak dihargai. Dan beban tak tertanggungkan dari Kang Husen. Tentu, nama-nama itu adalah fiktif—hanya rekaan, bukan sebenarnya. Tapi tidakkah semua sudah mewakili kenyataan kita hari ini? Bahwa Allah sedang menghancurkan negeri ini, karena belum juga memiliki pemimpin yang layak diharapkan.
Oleh karenanya, bukan hal yang terlalu sulit untuk dimengerti, kenapa bencana tak henti menghampiri kita. Longsor Banjarnegara. Karamnya Air Asia. Kriminalitas di mana-mana. Darurat narkoba, karena dari keseluruhan peredaran narkoba di dunia, 45% -nya berputar di Indonesia. Darurat hukum. Dan darurat-darurat lain yang tak bernama, yang seakan terus memberikan pengingat, bahwa kita sedang menanggung “siksa” karena ulah pemimpin-pemimpin kita. Harapannya memang tidak benar demikian. Akan tetapi jika melihat fakta yang ada, jelas kita sulit untuk mengelak.
Demikianlah, pada akhirnya Mang Jajang, Jang Hari, Si Ojo, Bi Iyam, Pak Guru Dani, dan Kang Husen, hanya bisa berharap, derita itu berakhir dengan segera. Karena apa pun alasannya—seperti disebutkan al-Quran, “Pamimpin ripuh (anu sok ngaripuhkeun rakyat), bakal ngariripuh jeung ngahesekeun rakyat.” Wallahu a’alamu. []