Pelupa

 

Kiki Syukri Musthafa

 

DICIPTAKAN dengan kesempurnaan bentuk (QS. At-Tin: 4), manusia ,memiliki potensi untuk menjadi yang terbaik dan melahirkan yang baik. Tentunya yang dimaksudkan adalah mampu memberikan manfaat dan tidak hanya saling memanfaatkan. Sehingga apa yang dibebankan kepada manusia sebagai khalifatulloh di muka bumi, bisa terjalani dan menjadi sebuah keharusan yang tidak serta merta dilupakan.

Tetapi, di sisi lain fitrah manusia sebagai pelupa, ternyata kadang menjadi batu sandungan yang cukup untuk menggelincirkan langkah pada ketidakpantasan, menjauhkannya pada kewajiban, dan melenakannya pada hal yang tak semestinya. Ini menjadi sedemikian krusial, ketika apa yang diragukan malaikat bahwa manusia kelak akan menjadi “perusak” dan “penumpah darah”, “…man yufsidu fiha wa yasfikuddima…”(QS. Al-Baqarah: 30) tampak menjadi nyata.

Fasid dan Isfak ad-dima, dalam kehidupan sosial kita, lebih mudah terfahami sebagai keadaan dimana rasa toleran, persaudaraan, tolong menolong, dsb., bergeser menjadi sikap-sikap individualis, intoleransi, permusuhan, apatis, ketidakpedulian dsb., yang mudah kita dapati di setiap detiknya. Ini yang tidak bisa dipungkiri, menjadi penyebab kita selalu menaruh rasa curiga dan ketidak percayaan terhadap pihak lain, yang berujung lahirnya disharmoni dalam kehidupan sosial kita. Sangat sensitif dan mudah tergores, ketika terbentur antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, satu golongan dengan golongan yang lain, bahkan konflik yang terjadi, ternyata lebih banyak disulut oleh hal-hal kecil yang seharusnya tidak perlu diperlebar. Benarkah kita sedang menjadi pelupa, atau justru sudah terlanjur memliki hati yang bebal?

Fenomena yang sudah disinggung Allah dalam Al-Quran:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).

 

Merujuk pada ayat di atas, pelupa yang sebenarnya adalah mereka yang enggan untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Kemampuan untuk merasakan, melihat, dan mendengar apa yang seharusnya diresapi, dilihat, dan didengar, tidak dimaksimalkan –lebih tepatnya, diabaikan.

 

Dampaknya tidak sesederhana yang kita bayangkan –sesuai dengan kalimat pembuka di ayat di atas, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam” menjadi konsekuensi untuk setiap kealpaan yang ada. Neraka Jahannam adalah simbol kesengsaraan, kesusahan, kehancuran, dsb., yang berkaitan dengan yang hal-hal yang tidak ideal dan meruntuhkan. Ini terbukti, kehidupan individu-sosial-masyarakat kita tidak sampai pada keadaan yang bisa member manfaat untuk sesame, tetapi cenderung saling memanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Hasilnya, tidak ada kebahagaiaaan di sini, karena kita kerap memaksakan diri untuk menjadi “pelupa” terhadap peran dan kewajiban awal sebagai khalifatulloh.

 

Akhirnya, terlepas dari menjadi “pelupa”, semua hal yang tidak mengenakkan dalam kehidupan kita, ternyata itu pun lebih didominasi oleh cara kita yang hanya mengingat dan meminta ketika butuh, dan ketika keinginan itu teraih, kita lupa dan menjauh,

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk dan berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu, memandang baik apa yang selalau mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 12).

 

Shodaqalloh Al- adhim.[]