Pemimpin
KUMPULAN ARTIKEL
DI BULETIN MASJID AGUNG KOTA TASIKMLAYA
oleh : Kiki Syukri Musthafa
SETIAP manusia yang terlahir, diperintahkan untuk berbuat kebaikan—ta’muruna bil ma’ruf. Dan menjauhkan diri dari hal munkar—tanha ‘anil munkar. Hal ini, tak lepas dari identitas manusia itu sendiri sebagai umat terbaik—khairu ummah, yang dikaruniai akal dan pikiran dalam mengendalikan setiap apa yang akan dijalaninya. Sehingga, ia dibebankan untuk “menjaga” dan “mengarahkan” serta “memimpin” dirinya sendiri dan pihak lain, kepada hal terbaik yang digariskan oleh Syara’.
Setiap kita adalah pemimpin. Dengan kata lain, kita adalah individu yang harus mampu untuk memimpin. Pertama, bagi diri kita sendiri dan keluarga kita. Kedua, bagi orang lain pada umumnya, “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih—setiap kita adalah pemimpin, dan akan dipertanggungjawabkan apa yang telah dipimpinnnya tersebut.”
Menjadi pemimpin bagi diri sendiri, berarti terus berupaya untuk mengarahkan dan menyelamatkan diri, dari hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena apa pun alasannya, menjadi pemimpin haruslah dimulai dari diri sendiri untuk menjadi “pribadi terpimpin”. Pribadi terpimpin, adalah yang mampu menjaga hati, lisan, dan sikapnya dari berbuat suatu hal, yang menjerumuskannya pada neraka, “Quu anfusikum wa ahlikum nara—jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.”
Ayat di atas, mengindikasikan dua hal. Pertama, bahwa sangat tidak mungkin kita menjadi “penjaga” dan “penyelamat” dengan memimpin orang lain, tanpa terlebih dahulu menjadi “pribadi terpimpin”. Pribadi yang mampu dan menyelamatkan dirinya sendiri dari berbuat hal buruk. Dari berakhlak buruk. Dari moralitas yang juga buruk, yang akan membuatnya susah dan terpuruk. Baik di hadapan manusia yang lain, atau kelak di hadapan Allah SWT.
Kedua, kewajiban untuk mampu memimpin, menjaga, dan menyelamatkan orang lain dari keterpurukan. Yang dimaksudkan an-nar—api neraka, pada ayat di atas, bukanlah semata-mata hanya api neraka, yang sudah tentu tersedia di akhirat kelak untuk manusia yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa. Tetapi, api neraka itu sudah ada di dunia ini. Neraka adalah simbol dari segala hal yang tidak mengenakkan. Kesulitan hidup. Akhlaq buruk yang menyulitkan. Keterpurukan yang serba sulit. Kegelisahan nan menyiksa sebagai hal tersulit. Itu bagian dari “api neraka”. Dan setiap individu diharuskan untuk memimpin dirinya, keluarganya, kemudian orang lain pada umumnya, agar selamat dari “api neraka” dunia, yang memungkinkan akan menjadi pintu bagi “api neraka” akhirat kelak.
Menjadi pemimpin, berarti menjadi pribadi yang terpimpin. Secara moral, etika, juga kecakapan menyelamatkan dan menjaga. Wallahu ‘almu. []