Permata
KUMPULAN ARTIKEL
DI BULETIN MASJID AGUNG KOTA TASIKMLAYA
oleh : Kiki Syukri Musthafa
DALAM literatur Arab, permata berarti jauhar. Sebentuk perhiasan yang selalu dijadikan tumpuan hasrat duniawi. Dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang memilikinya. Hal ini, karena menjadi “jaminan” bagi terpenuhinya kebutuhan utama secara materi.
Sedangkan dalam sudut pandang majazi, permata—jauhar, adalah keindahan, bernilai seni tinggi, kebahagiaan, ketenangan, keanggunan, dan lain hal yang terhubung langsung dengan sesuatu yang memukau dan mencuri perhatian. Sehingga para penyair, kerap menyandingkan “permata” dengan sesuatu yang dicintai dan diharapkannya.
Rasulullah SAW., memiliki pandangan tersendiri tentang permata. Dalam salah satu haditsnya, Beliau menuturkan permata pada hal khusus—yang justru mencakup dua pandangan di atas—yang bersifat imani. Dan merujuk pada “pembekalan” diri untuk perjalanan hidup yang jauh lebih mengabadikan.
“Arbau’ jawaahir fi jismi bani adam—ada empat permata dalam diri anak Adam,” sabda Rasulullah SAW., dalam hadits riwayat Al-Baihaqi, “yuziiluha arba’atu asyya—(akan tetapi) empat permata tersebut bisa dihilangkan oleh empat perkara,” lanjut Rasulullah SAW., menyinggung kemungkinan akan hilangnya empat permata, karena adanya empat perkara yang merusak. Apa saja?
Pertama, al-‘aqlu—akal. Menjadi permata bagi anak Adam, dikarenakan berfungsi sebagai pembeda manusia dengan makhluk Allah yang lain. Sehingga jika akal dimaksimalkan sesuai dengan tuntutan Syara’, segala perkara yang hak dan bathil dapat terlihat dengan jelas. Namun, permasalahan muncul ketika akal “hilang” yang menyebabkan perkara hak dan bathil tampak terlihat samar bahkan gelap, seperti langit sebelum hujan. Oleh karenanya, “Falghadlbu yaziilul ‘aqli—marah itu menghilangkan akal,” lanjut Rasulullah SAW., ketika memaparkan perihal perkara yang bisa menghilangkan akal. Jelas, karena dalam keterangan lain dijelaskan, saat dalam keadaan marah maka separuh akal manusia hilang.
Kedua, ad-diinu—agama. Agama adalah tempat segala nilai baikan bermuara. Dipupuk dan ditumbuhkan, untuk diamalkan oleh seluruh umat manusia. Oleh karenanya, agama merupakan permata bagi kehidupan semesta. Namun, “Walhasadu yaziilud diini—dan hasud bisa menghilangkan agama,” ujar Rasulullah SAW., mengingatkan manusia tentang betapa merusaknya perasaan hasud. Hasud adalah keinginan untuk melenyapkan kenikmatan orang lain—tidak menerima jika pihak lain berbahagia. Menurut Rasulullah SAW., ini sangat merusak. Kenapa demikian? Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Daud, Rasul menekankan, “Iyyakum walhasada, fainnal hasada ya’ kulul hasanat kama ta’ kulun naaru al-hathaba—jauhilah hasud, karena sesungguhnya hasud bisa melumat segala kebaikan, seperti api yang menghanguskan kayu bakar.” Di sinilah, hasud bisa menghilangkan nilai kebaikan. Dan jika nilai kebaikan lenyap, maka hilang pula-lah agama—keimanan—dalam diri anak Adam. Karena hasud memiliki kemampuan yang cukup untuk menutup pintu mashlahat.
Ketiga, al-hayaa—rasa malu. Ini permata selanjutnya. Dalam keterangan lain dijelaskan, “Alhayaa minal iiman—rasa malu merupakan bagian dari iman.” Dengan kata lain, jika seseorang memiliki iman yang kuat, kuat pula-lah ia menjaga segala sikap, ucap, dan lelaku langkahnya, yang akan membuatnya menanggung “malu” di hadapan Allah dan Rasul-Nya, juga di hadapan sesamanya. Akan tetapi, manusia tamak, rakus—menurut Rasulullah SAW., adalah manusia yang mudah kehilangan rasa malu dalam dirinya, “Waththama’ yaziiluh hayaa—dan tamak itu menghilangkan rasa malu.” Terbukti, saat ini hanya manusia yang rakus yang berani menggadaikan harga dirinya. Menanggalkan rasa malunya. Para pejabat yang menelanjangi dirinya sendiri demi tahta. Para penjilat yang melepas bajunya demi harta. Dan para pemuka agama yang bersujud nista demi wanita. Ya, ketamakan membuat rasa malu dan harga diri lenyap, tak merupa apa pun. Permata dalam dirinya hilang, menyisakan sampah busuk yang bau dan binal.
Keempat, ‘amalus shalih—amal soleh. Inilah permata terakhir yang dimaksudkan Rasulullah SAW. Amal soleh merupakan kran dari pipa keimanan seorang hamba kepada Sang Pencipta. Melalui kran itulah segala kebaikan mengalir, amar ma’ruf dan nahyi munkar terlahir. Akan tetapi, perusaknya justru sederhana, “Walghibatu yaziilul ‘amalus shalih—dan ghibah itu menghilangkan segala amal soleh.” Ghibah adalah membicarakan kejelekan orang lain. Dan membicarakan kejelekan orang lain (di belakangnya), sama saja dengan membicarakan kejelekan sendiri di hadapan banyak orang. Oleh karenanya, ghibah berpotensi memutus hubungan baik dengan sesama. Silaturahmi terpenggal. Segala amalan soleh terjegal.
Demikianlah, permata terbaik menurut Rasulullah SAW. Jika kesemua permata tersebut terangkum utuh dalam diri manusia, maka sudah dipastikan permata lain yang bersifat duniawi dan permata bening yang merujuk pada imani—keimanan, akan teraih secara bersamaan. Yang pada gilirannya akan menghadirkan kebahagiaan hidup yang tak tertangguhkan. Wallahu a’lamu.[Kiki Musthafa]